
Sekali lagi, sudah dua kali Ciki kubuang beserta anak-anaknya. Merasa bersalah? Tentu saja ya. Setega itu pada mahluk kecil yang tidak menyusahkanku secara pribadi, tapi cukup mengusik kenyamanan tetangga. Sekali-sekali kukatakan padanya, kita penumpang. Namun, Ciki tak peduli. Ada rasa kesal karena diri sendiri belum mampu memperlakukan mereka lebih baik.
Setelah dua minggu di pembuangan, Ciki kembali dengan badan memapan (tipis seperti papan). Ekornya peot, langkahnya reot menggiring anak-anak yang sanggup bertahan sampai tujuan. Aku pikir aku telah bebas dari keluhan tetangga, tapi sekarang dia kembali dengan dua ekor anaknya duduk menatap sayu di anak tangga. Aku mengacuhkannya hampir seminggu kemudian. Jika mereka mau bertahan, bertahanlah sendiri.
Dua bulan berjalan, kedua anaknya terpencar. Aku masih melihat mereka gelandangan di siang hari dan enggan kembali. Mereka telah lupa induk mereka masih di sekitar sini, yang kini sibuk mempercantik diri untuk kawin lagi.
Ah, kucing yang malang. Ah, mahluk yang malang. "Semua datang ke dalam kesia-siaan. Segala sesuatu adalah sia-sia" kata Sang Pengkhotbah. "Apakah yang baik bagi anak-anak manusia sepanjang tahun-tahun hidup mereka?" (pun binatang?)
~~~
Di bulan puasa ini, sore hari aku sering bawakan bubur kacang hijau untuk Ciki. Selera makannya yang belum kutau selama ini. Dia hanya menghabiskan 3-4 sendok, selebihnya untukku. haha. Ciki dalam kesendiriannya semakin pendiam. Merupakan ritual beberapa menit pandang-pandangan denganku atau menggeser-geser dan menggigit kacamataku begitu diletak di atas meja, dia akan turun dan terkapar tidur di lantai.
Belakangan aku sudah tak sibuk lagi memikirkan apa yang dia pikirkan. Aku tak lagi mencari makna dari bahasa tubuhnya, meski aku masih tetap tersenyum olehnya. Sekarang aku sedang sibuk dengan diriku berusaha meretas siklus kebosanan.
Comments
Post a Comment