Jejariku (jemari pun jadi) berhenti menekan papan kunci (kibod atau keyboard pun jadi) karena baru saja merasa ada sedikit keganjilan pada bagian kalimat yang kuketik. Sumber teks bahasa Indonesia kualihkan ke bahasa Inggris. Bunyinya begini...Huruf kecil di belakang angka menunjukkan derajat perlakuan sebesar 5%, sedangkan huruf besar menunjukkan derajat perlakuan 1%. Ketika mengalihbahasakan kalimat ini, aku rasanya lancar-lancar saja. Tetapi begitu tiba pada tanda penghenti kalimat (titik pun jadi), sensorku bergerak, dan membaca kembali hasil alihbahasa kalimat yang baru saja kubuat. Dan keganjilan itupun terdeteksi. Aku mengalihbahasakan huruf kecil dengan lower case, dan huruf besar dengan capital letter.
Emangnya apa yang salah disitu? tanya orang pertama-ku yang risk averse dan enggan kritikan. Lalu, orang kedua-ku menjawab "aneh gitu loh. Tak ada yang salah memang. Hanya saja tuan kita tidak pernah pada saat yang sama keluar memakai sepatu untuk kaki kanan dan sandal untuk kaki kiri, meski kedua alat itu digunakan pada kaki". Lalu orang pertama-ku diam dan segera memerintahkan jemariku untuk mengubah capital letter menjadi upper case. "Klop kan! celutukku dalam hati, entah siapa yang ngomong, apa itu berasal dari orang pertama-ku atau orang kedua.
Kukira mereka berhenti berargumen sampai disitu. Sementara tanganku meraba punggung yang sudah terasa pegal, ternyata mereka keterusan.
".... kenapa sih mesti ngikutin yang belakangnya case? Kenapa bukan yang letter? Sejarahnya kan, ini menyangkut huruf - letter gitu..." serang orang pertamaku dengan logat Bataknya. "Kenapa tidak mengubah lower case jadi town atau village letter?" imbuhnya tak kalah akal.
"Alasannya apa?" tuntut orang kedua-ku yang lebih suka berperasaan.
"Ya, capital itu kan bisa diartikan ibukota. Dimana-mana ibukota pasti kota besar, makanya huruf kapital berarti huruf besar. Kota kecil adalah town buat orang sono, dan pemukiman yang lebih kecil disebut village, makanya huruf kecilnya kita istilahi dengan town/village letter." jawab orang pertama-ku berapi-api. Lalu dia melanjutkan "Capital juga berarti modal, jadi orang bermodal adalah orang besar dan tidak bermodal disebut orang kessil..." katanya sambil bernada mengejek, seperti telah mendominasi perdebatan.
Orang kedua-ku menghela nafas, dalam hatinya dia berkata "Suka kaulah, tapi mohon menggunakan istilah yang berterima umum, ini demi kebaikan tuan kita bersama". Si orang pertama-ku juga tampak mahfum. Karena sahamnya cuma 50%.
Sementara itu mataku tertuju ke luar, skene dua sisi jalan ramai oleh kenderaan dan pejalan kaki. Sesosok wanita tinggi semampai berdiri di trotoar menunggu angkot yang entah kemana. Menangkap sosok itu mataku bergerak turun - seperti gerak scanner dan berhenti pada suatu titik. Ya itu dia, tinggi semampai oleh sepatu hak tinggi.
Dan orang keduaku membuka komentar. "hai hills. Kedengarannya seperti perbukitan dan ketinggian. Orang pertamaku sedikit statis, menunggu kelanjutan komentar berikutnya, meski dalam memory menunjukkan kedipan tanda merah heels bah!
Benar sekali, orang keduaku menambahkan "Sulit menebak arti kedua kata itu jika hanya keduanya diperdengarkan."
"Maksud kau?" Orang pertamaku memancing, dari tadi dia sudah menduga kemana arah celoteh si-kedua. Masih seputar kata.
"Maksudku, jika kau mendengar kedua kata itu, lalu makna apa yang akan segera kau tunjukkan?" tanya si-kedua.
"Ya tergantung konteksnya..." jawab si pertama.
"Jika hanya kedua kata itu?"
"Maksud kau, si Nobita baru bangun tidur dan yang mengeluarkan kedua kata itu?" susul si-pertama. Sebelum si-kedua menggangguk dia melanjutkan. "Doraemon pasti bingung juga, tetapi aku tak perlu bingung, karena keduanya berhubungan dengan ketinggian".
"Hmmm, sama saja, tak ada jawaban yang pasti" si-pertama mengernyitkan pipi. Kenapa kata-kata itu mirip?
"Aku bilang padamu, keduanya berhubungan dengan ketinggian. Ya, sedikit lebih tinggi, tidak terlalu tinggi. Hill dan Heel. Kita punya teman Hilda dan Helda kan? Itu dia, mereka tak jauh beda - punya sepatu tumit tinggi. Hil lebih dahulu lahir dan Hel belakangan."
"Maksud loe?" sekarang si-kedua yang balik bertanya.
"Ingat kan teman, gunung-gunung dan lembah lebih dahulu ada - baru manusia ada. Andai keduanya diciptakan sewaktu, apakah Hawa mungkin mengajukan permohonan kepada Pencipta 'high heels pliz...'. Dan, aha... yang lebih tidak mungkin lagi dengan high hells untuk mendaki bukit."
Jadi?
Heel meniru kata hill. Aku tidak tau siapa pembuat sepatu pertama. Tetapi namanya pasti bukan Heel. Atau jika sepatu hak tinggi dibuat di rumah sepatu yang berada di perbukitan, betapa jauh visi pembuatnya, menciptakan sesuatu yang bertolak belakang dengan kebutuhan praktis untuk dunia sekitarnya. Bayangkan ketika kita berjalan di perbukitan. Berat badang bertumpu pada ujung kaki - tepat di sekitar kelima jari. Jika harimau lewat dia menganggap jalanan yang menyisakan jejak manusia baru saja dilewati kangguru. Kangguru dari Hongkong?
Ya, sama seperti seseorang yang memakai sepatu hak tinggi. Jika ditransform pada garis sejajar, dia seperti berjalan mendaki bukit, meski berada di dalam lift.
Jadi, singkatnya, pembuat sepatu kebingungan menamai alas kaki seperti mendaki bukit itu. Tidak pikir panjang dia menyerukan namanya ketika turun ke pasar "high hills... high hills... high hills...". Para pengunjung sontak memandanginya - ingin tahu ada apa gerangan dengan bukit-bukit yang tinggi. Beruntung sekali, seorang Webster lewat - lalu membisikkan kepada si Shoemaker untuk meralat 'just shift the i and i with double ee. Everything will be oke'. Keesokan harinya si pembuat sepatu sudah memajang label di gerainya: High Heels - I wonder it makes you ill.
~~
Emangnya apa yang salah disitu? tanya orang pertama-ku yang risk averse dan enggan kritikan. Lalu, orang kedua-ku menjawab "aneh gitu loh. Tak ada yang salah memang. Hanya saja tuan kita tidak pernah pada saat yang sama keluar memakai sepatu untuk kaki kanan dan sandal untuk kaki kiri, meski kedua alat itu digunakan pada kaki". Lalu orang pertama-ku diam dan segera memerintahkan jemariku untuk mengubah capital letter menjadi upper case. "Klop kan! celutukku dalam hati, entah siapa yang ngomong, apa itu berasal dari orang pertama-ku atau orang kedua.
Kukira mereka berhenti berargumen sampai disitu. Sementara tanganku meraba punggung yang sudah terasa pegal, ternyata mereka keterusan.
".... kenapa sih mesti ngikutin yang belakangnya case? Kenapa bukan yang letter? Sejarahnya kan, ini menyangkut huruf - letter gitu..." serang orang pertamaku dengan logat Bataknya. "Kenapa tidak mengubah lower case jadi town atau village letter?" imbuhnya tak kalah akal.
"Alasannya apa?" tuntut orang kedua-ku yang lebih suka berperasaan.
"Ya, capital itu kan bisa diartikan ibukota. Dimana-mana ibukota pasti kota besar, makanya huruf kapital berarti huruf besar. Kota kecil adalah town buat orang sono, dan pemukiman yang lebih kecil disebut village, makanya huruf kecilnya kita istilahi dengan town/village letter." jawab orang pertama-ku berapi-api. Lalu dia melanjutkan "Capital juga berarti modal, jadi orang bermodal adalah orang besar dan tidak bermodal disebut orang kessil..." katanya sambil bernada mengejek, seperti telah mendominasi perdebatan.
Orang kedua-ku menghela nafas, dalam hatinya dia berkata "Suka kaulah, tapi mohon menggunakan istilah yang berterima umum, ini demi kebaikan tuan kita bersama". Si orang pertama-ku juga tampak mahfum. Karena sahamnya cuma 50%.
Sementara itu mataku tertuju ke luar, skene dua sisi jalan ramai oleh kenderaan dan pejalan kaki. Sesosok wanita tinggi semampai berdiri di trotoar menunggu angkot yang entah kemana. Menangkap sosok itu mataku bergerak turun - seperti gerak scanner dan berhenti pada suatu titik. Ya itu dia, tinggi semampai oleh sepatu hak tinggi.
Dan orang keduaku membuka komentar. "hai hills. Kedengarannya seperti perbukitan dan ketinggian. Orang pertamaku sedikit statis, menunggu kelanjutan komentar berikutnya, meski dalam memory menunjukkan kedipan tanda merah heels bah!
Benar sekali, orang keduaku menambahkan "Sulit menebak arti kedua kata itu jika hanya keduanya diperdengarkan."
"Maksud kau?" Orang pertamaku memancing, dari tadi dia sudah menduga kemana arah celoteh si-kedua. Masih seputar kata.
"Maksudku, jika kau mendengar kedua kata itu, lalu makna apa yang akan segera kau tunjukkan?" tanya si-kedua.
"Ya tergantung konteksnya..." jawab si pertama.
"Jika hanya kedua kata itu?"
"Maksud kau, si Nobita baru bangun tidur dan yang mengeluarkan kedua kata itu?" susul si-pertama. Sebelum si-kedua menggangguk dia melanjutkan. "Doraemon pasti bingung juga, tetapi aku tak perlu bingung, karena keduanya berhubungan dengan ketinggian".
"Hmmm, sama saja, tak ada jawaban yang pasti" si-pertama mengernyitkan pipi. Kenapa kata-kata itu mirip?
"Aku bilang padamu, keduanya berhubungan dengan ketinggian. Ya, sedikit lebih tinggi, tidak terlalu tinggi. Hill dan Heel. Kita punya teman Hilda dan Helda kan? Itu dia, mereka tak jauh beda - punya sepatu tumit tinggi. Hil lebih dahulu lahir dan Hel belakangan."
"Maksud loe?" sekarang si-kedua yang balik bertanya.
"Ingat kan teman, gunung-gunung dan lembah lebih dahulu ada - baru manusia ada. Andai keduanya diciptakan sewaktu, apakah Hawa mungkin mengajukan permohonan kepada Pencipta 'high heels pliz...'. Dan, aha... yang lebih tidak mungkin lagi dengan high hells untuk mendaki bukit."
Jadi?
Heel meniru kata hill. Aku tidak tau siapa pembuat sepatu pertama. Tetapi namanya pasti bukan Heel. Atau jika sepatu hak tinggi dibuat di rumah sepatu yang berada di perbukitan, betapa jauh visi pembuatnya, menciptakan sesuatu yang bertolak belakang dengan kebutuhan praktis untuk dunia sekitarnya. Bayangkan ketika kita berjalan di perbukitan. Berat badang bertumpu pada ujung kaki - tepat di sekitar kelima jari. Jika harimau lewat dia menganggap jalanan yang menyisakan jejak manusia baru saja dilewati kangguru. Kangguru dari Hongkong?
Ya, sama seperti seseorang yang memakai sepatu hak tinggi. Jika ditransform pada garis sejajar, dia seperti berjalan mendaki bukit, meski berada di dalam lift.
Jadi, singkatnya, pembuat sepatu kebingungan menamai alas kaki seperti mendaki bukit itu. Tidak pikir panjang dia menyerukan namanya ketika turun ke pasar "high hills... high hills... high hills...". Para pengunjung sontak memandanginya - ingin tahu ada apa gerangan dengan bukit-bukit yang tinggi. Beruntung sekali, seorang Webster lewat - lalu membisikkan kepada si Shoemaker untuk meralat 'just shift the i and i with double ee. Everything will be oke'. Keesokan harinya si pembuat sepatu sudah memajang label di gerainya: High Heels - I wonder it makes you ill.
~~
Comments
Post a Comment