
Setiap aku berdiri disitu dan memandang keluar, pertanyaan yang sama tetap muncul dari bilik otakku. Mengapa mereka sibuk? Untuk apa mereka sibuk? Tidakkah ada cara untuk memperpendek perjalanan? Lima tahun lalu, sudah sibuk, sekarang lebih sibuk, dan tahun-tahun ke depan akan semakin sibuk?
Hei, ingin saja aku teriak, "mengapa kalian sibuk?" Apa karena dunia ini punya begitu banyak pekerjaan untuk diselesaikan setiap hari? Ya, mungkin begitu, tetapi catatan ekonomi bilang, dunia ini sedang krisis, banyak perusahaan merampingkan produksi, angka pengangguran makin bertambah. Tapi mengapa kalian sibuk?
Hahaha. Jika aku tertawa, hanya menertawakan diri sendiri. Bukankah kata "sibuk" yang sama sering juga ditujukan padaku oleh orang lain, meski aku hanya diam di satu tempat hampir dua belas jam. Aku tidak merasa diriku sibuk! Kadang, dengan banyaknya jam kerja, aku merasa hidupku hari itu bermakna - karena aku tidak punya waktu untuk berdiri dekat jendela untuk mengamati orang atau benda lain sedang sibuk. Tetapi yang aku inginkan bukan 'kadang-kadang' merasa bermakna. Aku mau setiap saat. Meski pendapatan tidak jauh beda dari sebelumnya, meski belum punya kendaraan dan rumah, meski belum punya ini dan itu. Jadi bagaimana caranya untuk merasa setiap saat penuh makna?
Dalam bukunya, Man's Search for Meaning, Viktor Frankl menulis bahwa beberapa orang yang selamat dari Holocaust mencari jawaban atas pertanyaan 'untuk apa kita hidup?' Kebanyakan dari mereka yang bebas dari kamp konsentrasi akhirnya harus menghadapi kepedihan yang sama, setelah tiba di rumah mereka mendapati bahwa orang-orang yang mereka cintai telah tiada.
Akhirnya Viktor Frankl menulis, "Celakalah orang-orang yang ketika impiannya akhirnya terwujud, mendapati bahwa segalanya sangat berbeda dengan yang ia idam-idamkan."Situasiini berbeda dengan para korban holocaust dan saya. Poltak punya pekerjaan yang bagus dan bergaji tinggi, tinggal di apartemen mewah, dan ia senang menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Ia menceritakan, "Malam sudah larut ketika saya berjalan pulang usai berpesta, dan tiba-tiba terbersit pertanyaan 'apakah hidup saya akan begini-begini saja?' - Hidup sebentar, lalu mati? Atau adakah hal lain?' Ketika itu, saya menyadari betapa hampanya hidup ini.'

Kehidupan sering diibaratkan perjalanan. Kita bisa saja memulai suatu perjalanan tanpa tujuan. Demikian juga kita bisa menjalani kehidupan tahu tujuan yang sebenarnya. Jika demikian halnya, kita bisa terjebak dalam apa yang disebut oleh Stephen R. Covey sebagai 'kehidupan yang serba sibuk'.
Ia menulis tentang orang-orang yang "ternyata meraih kesuksesan yang diperoleh dengan mengorbankan hal-hal yang tiba-tiba mereka sadari jauh lebih berharga dari diri mereka".Tidak ada gunanya menambah kecepatan kendaraan jika kita tidak melaju ke arah yang benar. Sekadar menambah kesibukan demi mencari makna hidup hanyalah mendatangkan perasaan hampa, bukan kepuasan sejati. Semua orang dari berbagai budaya dan usia ingin sekali memahami alasan kita hidup. Keinginan itu timbul karena kita semua memiliki kebutuhan yang sangat besar, yakni kebutuhan rohani yang bisa tetap tidak terpuaskan bahkan setelah kebutuhan materi kita terpenuhi.
Comments
Post a Comment